Faktabatam.id, NASIONAL – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan posisi yang sama. Keduanya satu suara terkait dana daerah, yang ditekankan tidak boleh mengendap di bank dan harus segera digunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Menanggapi pertanyaan soal perbedaan data simpanan pemerintah daerah (pemda) antara Kemendagri dan Kemenkeu, Tito menegaskan tidak ada perbedaan prinsip. Menurutnya, selisih yang muncul murni bersifat teknis dalam metode pelaporan.
Tito menjelaskan bahwa selisih sekitar Rp18 triliun adalah hal yang wajar. Ia memaparkan, berdasarkan data Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) per Oktober 2025, dana simpanan Pemda tercatat Rp215 triliun. Sementara itu, data Bank Indonesia (BI) yang dikutip Menkeu menunjukkan angka Rp233 triliun per Agustus 2025.
Perbedaan waktu pelaporan selama dua bulan inilah yang, menurut Tito, menjelaskan perbedaan angka tersebut.
“Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp233 triliun, lalu Oktober Rp215 triliun, artinya Rp18 triliun itu sudah dibelanjakan,” ujarnya.
Tito juga menegaskan bahwa semangat antara Kemenkeu dan Kemendagri tetap sejalan, yakni sama-sama ingin mempercepat penyerapan anggaran dan memastikan dana daerah memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Pandangan ini didukung oleh Dosen Hukum Pemerintahan Daerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo. Ia sepakat dengan kedua menteri tersebut mengenai esensi penggunaan dana daerah.
Menurut Hestu, baik Mendagri maupun Menkeu memiliki semangat yang sama untuk memastikan dana tersebut tidak menumpuk di perbankan.
“Baik Kemenkeu maupun Kemendagri berupaya memperkuat disiplin fiskal daerah. Perbedaan data jangan diartikan perbedaan arah, karena tujuannya tetap sama: memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan mengendap di rekening,” kata Hestu dalam keterangannya, Sabtu.
Hestu menilai selisih angka Rp18 triliun tidak menunjukkan adanya konflik atau penyimpangan, melainkan murni disebabkan oleh perbedaan teknis dan metodologis dalam pelaporan.
Ia menjelaskan, data BI yang digunakan Menkeu menggambarkan posisi simpanan Pemda di bank pada waktu tertentu (cut-off), umumnya di akhir bulan. Sementara data yang digunakan Mendagri melalui SIPD bersumber dari laporan administratif Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) yang bersifat dinamis dan harian, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.
“SIPD merekam kondisi kas daerah yang terus bergerak, sementara data BI bersifat posisi tetap (cut-off), jadi wajar jika angkanya berbeda,” tutur Hestu.
Hestu menjabarkan tiga faktor utama yang menyebabkan selisih data tersebut:
- Perbedaan waktu pelaporan (cut-off date) antara BI dan SIPD.
- Perbedaan definisi akun, di mana rekening tertentu yang masih atas nama Pemda bisa jadi bukan kas daerah operasional.
- Kesalahan input atau keterlambatan pelaporan di daerah karena keterbatasan SDM dan sistem.
Menurutnya, semua faktor ini dapat diklarifikasi melalui proses rekonsiliasi administratif.
“Rekonsiliasi data antara ketiga lembaga ini sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara,” tegas Hestu.
Ia pun menyarankan agar hasil rekonsiliasi nantinya diumumkan bersama oleh BI, Kemenkeu, dan Kemendagri. Langkah ini penting agar publik mendapatkan data yang sudah tervalidasi dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda.
(*Red)















