Faktabatam.id, NASIONAL – Dugaan praktik penyalahgunaan dana Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) semakin menguat.
Salah satu unsur pimpinan DPRD, Prabasa Anantatur, diduga ikut terlibat dalam pusaran masalah ini dengan nilai Pokir mencapai lebih dari Rp17 miliar.
Informasi yang diterima redaksi menyebutkan, sebagian besar dana Pokir milik Prabasa tersebut diduga dipecah menjadi paket-paket kecil dengan nilai maksimal Rp200 juta.
Tujuannya jelas, agar proyek-proyek tersebut dapat dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung (PL) tanpa melalui proses lelang tender terbuka yang lebih transparan. S
elain itu, terdapat juga alokasi anggaran survei jembatan yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Lebih mengejutkan lagi, sejumlah proyek yang didanai dari Pokir Prabasa ini tidak hanya tersebar di Kabupaten Sambas yang merupakan daerah pemilihannya (dapil), tetapi juga ditemukan muncul di kabupaten lain di luar dapilnya.
Langkah ini jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017, yang secara tegas menyatakan bahwa Pokir harus berasal dari aspirasi masyarakat di dapil masing-masing anggota dewan.
Temuan ini merupakan bagian dari dugaan penyimpangan Pokir DPRD Kalbar yang lebih besar. Total anggaran Pokir untuk 65 anggota DPRD Kalbar pada tahun 2025 disinyalir mencapai angka fantastis, lebih dari Rp500 miliar.
Dana jumbo ini dikhawatirkan menjadi ajang bagi-bagi proyek melalui mekanisme penunjukan langsung.
Sorotan KPK dan GNPK
Praktik semacam ini sejatinya telah lama menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK, Setyo Budiyanto, berulang kali mengingatkan bahwa proyek aspirasi atau Pokir rentan disalahgunakan dan melanggar prinsip akuntabilitas.
“Pokir sudah lama jadi sorotan KPK. Kepala daerah harus ekstra hati-hati, jangan sampai terlibat praktik transaksional. Risikonya bukan hanya kehilangan jabatan, tapi juga pidana,” tegas Setyo.
KPK mencatat, kasus serupa yang melibatkan anggota DPRD dalam proyek Pokir pernah terjadi di Kota Malang dan Musi Banyuasin, di mana anggota dewan terbukti menerima fee atau imbalan dari rekanan.
Kritik tajam juga datang dari Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Kalimantan Barat, M. Rifal. Ia menilai pola pembagian proyek Pokir yang terjadi saat ini sudah melenceng jauh dari tujuan awal reses dan penyerapan aspirasi.
“Kalau proyek Pokir nilainya dipecah supaya bisa penunjukan langsung, itu bukan lagi aspirasi, tapi transaksi proyek. Apalagi kalau sampai dilakukan di luar dapil, jelas melanggar,” tegas Rifal.
Munculnya nama pimpinan dewan dalam dugaan penyimpangan Pokir DPRD Kalbar ini menambah daftar panjang kekhawatiran publik akan potensi korupsi berjamaah yang dibungkus dengan program aspirasi rakyat.