Faktabatam.id, NASIONAL – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kini berupaya agar masyarakat hukum adat dan komunitas perhutanan sosial bisa terlibat dalam perdagangan karbon.
Inisiatif ini membuka peluang ekonomi yang tidak hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga oleh masyarakat yang selama ini menjaga hutan secara turun-temurun.
Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni, menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan produktivitas masyarakat yang mengelola hutan secara berkelanjutan.
“Saya sedang memproses finalisasi dengan teman-teman untuk revisi Perpres 98 yang memungkinkan terjadi perdagangan karbon secara mandiri, voluntary carbon market,” ujar Raja Juli Antoni saat penutupan Proyek TERRA for Customary Forest (TERRA-CF) di Jakarta, Senin.
Revisi Perpres 98 untuk Keterlibatan Masyarakat
Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon menjadi kunci utama. Raja Juli Antoni menjelaskan bahwa perubahan ini dirancang agar kelompok tani hutan dan masyarakat adat juga bisa ambil bagian dalam pasar karbon sukarela. Pasar ini, yang sudah berkembang pesat di luar negeri, sebelumnya hanya diakses oleh perusahaan-perusahaan besar.
“Agar tidak hanya perusahaan besar yang kemudian mendapatkan PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), perusahaan besar yang akan mendapatkan keuntungan dari proses perdagangan karbon ini, tapi bagaimana kemudian masyarakat hukum adat,” tegas Raja Juli.
Untuk mewujudkan hal ini, ia meminta para pemangku kepentingan untuk menyiapkan model yang mendukung keterlibatan aktif masyarakat hukum adat dan kelompok tani hutan. Harapannya, tradisi menjaga hutan yang telah dijalankan oleh banyak komunitas dapat memberikan manfaat ekonomi yang setara dengan upaya agroforestri atau kegiatan ekonomi lainnya.
Data dan Dukungan Pemerintah
Hingga awal September 2025, Kemenhut telah memberikan 11.065 SK (Surat Keputusan) Perhutanan Sosial. SK ini mencakup lahan seluas 8,4 juta hektare yang dikelola oleh 1,4 juta kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, 333.687 hektare di antaranya merupakan hutan adat, yang dikelola oleh 83 ribu kepala keluarga masyarakat hukum adat di 41 kabupaten. Data ini menunjukkan potensi besar bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon dan mendapatkan kesejahteraan dari usaha mereka menjaga kelestarian hutan.