LPSK Terima 2.373 Permohonan dari Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Lima Tahun Terakhir

Gedung LPSK. (Dok. Ist)

Faktabatam.id, NASIONAL – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merilis data yang menunjukkan lonjakan signifikan dalam jumlah permohonan perlindungan yang diajukan oleh para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Selama periode lima tahun terakhir, dari 2020 hingga 2024, LPSK telah menerima total 2.373 permohonan.

Angka ini dinilai tidak hanya menunjukkan peningkatan kasus, tetapi juga merefleksikan dua tren positif: meningkatnya keberanian korban untuk melapor dan meluasnya pemahaman publik mengenai fungsi vital LPSK dalam melindungi mereka.

Ketua LPSK, Achmadi, menyatakan bahwa fenomena ini menjadi indikator penting keberhasilan sosialisasi mengenai isu TPPO dan peran negara dalam memberikan perlindungan.

“Ini juga menunjukkan bahwa kesadaran terhadap isu TPPO dan keberadaan LPSK semakin meluas,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar dalam rangka memperingati Hari Anti-TPPO di Jakarta, Kamis, (31/7/2025).

Achmadi kemudian merinci data permohonan yang masuk setiap tahunnya, dengan lonjakan paling drastis terjadi pada tahun 2023.

“Lalu, 2021 ada 147 permohonan, 2022 ada 150 permohonan, 2023 ada 1.297 permohonan, 2024 ada 576 permohonan,” ucapnya, setelah menyebutkan bahwa pada tahun 2020 terdapat 203 permohonan.

Dari ribuan permohonan tersebut, mayoritas korban mengajukan permintaan restitusi, yaitu ganti kerugian finansial yang wajib dibayarkan oleh pelaku kejahatan kepada korban. Permintaan ini menjadi salah satu fokus utama LPSK dalam memperjuangkan hak-hak para korban tindak pidana perdagangan orang.

“Pada tahun 2024 saja, terdapat 439 permohonan restitusi, dengan total nilai perhitungan mencapai Rp7,49 miliar,” kata dia.

Meskipun demikian, Achmadi mengakui bahwa jalan untuk pemenuhan hak restitusi masih penuh tantangan. Banyak permohonan yang ditolak oleh majelis hakim, dan sekalipun dikabulkan, nominalnya sering kali tidak sebanding dengan kerugian riil yang dialami korban. Masalah lain muncul ketika pelaku yang telah divonis menolak untuk membayar ganti rugi tersebut.

“Belum adanya mekanisme pemaksaan yang efektif menjadi salah satu tantangan utama dalam pemenuhan hak restitusi bagi korban,” tegas Achmadi.

Ia menegaskan bahwa TPPO adalah kejahatan luar biasa yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, penanganannya tidak bisa hanya berhenti pada penegakan hukum, tetapi harus mencakup pemulihan korban secara holistik.

“LPSK pun terus memperbarui pendekatan, baik dalam perlindungan fisik dan hukum, pemulihan psikologis, medis dan psikososial, maupun dalam proses pemenuhan hak restitusi,” ujar Achmadi.

Di akhir pernyataannya, ia juga menyoroti krusialnya kolaborasi antarlembaga untuk saling bertukar pengalaman dan pengetahuan demi memperkuat sistem perlindungan serta pemulihan bagi korban TPPO di Indonesia.