12 Perusahaan Teknologi AS Bangun Pusat Data di Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat memberikan keterangan pers mengenai investasi pusat data perusahaan teknologi AS di Indonesia, Jumat (29/7/2025). (Dok. Ist)

Faktabatam.id, NASIONAL – Sebanyak 12 perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat (AS) telah menanamkan investasinya dengan membangun Pusat Data di Indonesia. Kabar ini dikonfirmasi langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Menurut Airlangga, langkah investasi ini menunjukkan komitmen dan kepatuhan perusahaan-perusahaan AS terhadap regulasi lokal yang berlaku di Indonesia, khususnya yang menyangkut transfer data pribadi warga negara. Isu transfer data ini memang menjadi salah satu topik utama dalam perjanjian kerja sama antara Indonesia dan Amerika Serikat.

“Sudah 12 perusahaan Amerika Serikat mendirikan data center di Indonesia. Jadi artinya mereka juga sudah comply dengan regulasi yang diminta oleh Indonesia,” kata Airlangga dalam Konferensi Pers Joint Statement Indonesia-AS di Kemenko Perekonomian, Jumat (29/7/2025).

Adapun ke-12 perusahaan teknologi AS yang telah membangun atau sedang dalam proses mendirikan pusat data di tanah air adalah sebagai berikut:

  1. AWS: Infrastruktur fisik di Jawa Barat.
  2. Microsoft: Infrastruktur fisik di Jawa Barat.
  3. Equinix: Infrastruktur fisik dan kolokasi di Jakarta.
  4. EdgeConneX: Infrastruktur fisik di Jawa Barat.
  5. Oracle: Dalam tahap perencanaan di Batam (kolokasi dengan DayOne).
  6. Digital Realty: Kolokasi dengan Digital Infrastructure Asia (BDIA) di Jakarta.
  7. Google Cloud: Kolokasi dengan Data Center Indonesia (DCI) di Jakarta.
  8. WowRack: Infrastruktur fisik di Jakarta dan Surabaya.
  9. Akamai: Infrastruktur fisik di Jakarta.
  10. CloudFlare: Infrastruktur fisik di Jakarta, Denpasar, dan Yogyakarta.
  11. Braze: Infrastruktur fisik di Jakarta (kerja sama dengan AWS).
  12. Anaplan Unlimited: Infrastruktur fisik di Jakarta (kerja sama dengan AWS).

Dalam kesempatan yang sama, Airlangga juga meluruskan polemik terkait transfer data dalam perjanjian dagang dengan AS. Ia menegaskan bahwa tidak ada pertukaran data antar pemerintah (government to government).

“Jadi, sebetulnya data ini yang isi masyarakat sendiri-sendiri pada saat mereka mengakses program. Tidak ada pemerintah mempertukarkan data secara government to government, tapi adalah bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut bisa memperoleh data, memperoleh konsen dari masing-masing pribadi,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa data yang ditransfer merupakan data dasar yang diberikan atas persetujuan sadar dari pengguna saat mendaftar atau menggunakan layanan digital.

“Sebetulnya beberapa data pribadi kan merupakan praktik dari masyarakat pada saat daftar di Google, Bing, melakukan (jual beli di) e-commerce, dan yang lain. Pada saat membuat email, akun, itu kan data upload sendiri,” ujar Airlangga.

Kesepakatan antara Indonesia dan AS, lanjutnya, bertujuan untuk menciptakan sebuah protokol yang menjadi landasan hukum yang sah, aman, dan terukur untuk mengatur lalu lintas data pribadi antarnegara. Ia mencontohkan bagaimana data pribadi warga Indonesia sudah diakses pihak asing dalam transaksi keuangan sehari-hari, seperti melalui Mastercard atau Visa, yang terikat dengan prinsip know your customer (KYC).

“Itu ada mekanismenya sendiri, bahkan dalam payment system kan tidak bisa dipakai begitu saja. Ada security lain, seperti OTP (one-time password) dan yang lain. Sehingga data security itu menjadi penting dan inilah yang diperlukan protokol kuat untuk melindungi data dalam transaksi, baik itu digunakan melalui cloud computing maupun ke depannya akan semakin banyak lagi penggunaan AI (kecerdasan buatan),” jelasnya.